Tuesday, May 21, 2013

Manfaat Jalan Kaki





Jalan Kaki Jinakkan Penyakit

Studi dalam beberapa tahun terakhir semakin mengukuhkan bahwa berjalan tergopoh-gopoh dan bukan jalan santai memang memberi banyak manfaat bagi kesehatan kita. Inilah sembilan manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas jalan kaki.

1. Serangan Jantung.
Pertama-tama tentu menekan risiko serangan jantung. Kita tahu otot jantung membutuhkan aliran darah lebih deras (dari pembuluh koroner yang memberinya makan) agar bugar dan berfungsi normal memompakan darah tanpa henti. Untuk itu, otot jantung membutuhkan aliran darah yang lebih deras dan lancar. Berjalan kaki tergopoh-gopoh memperderas aliran darah ke dalam koroner jantung. Dengan demikian kecukupan oksigen otot jantung terpenuhi dan otot jantung terjaga untuk bisa tetap cukup berdegup.

Bukan hanya itu. Kelenturan pembuluh darah arteri tubuh yang terlatih menguncup dan mengembang akan terbantu oleh mengejangnya otot-otot tubuh yang berada di sekitar dinding pembuluh darah sewaktu melakukan kegiatan berjalan kaki tergopoh-gopoh itu. Hasil akhirnya, tekanan darah cenderung menjadi lebih rendah, perlengketan antarsel darah yang bisa berakibat gumpalan bekuan darah penyumbat pembuluh juga akan berkurang.

Lebih dari itu, kolesterol baik (HDL) yang bekerja sebagai spons penyerap kolesterol jahat (LDL) akan meningkat dengan berjalan kaki tergopoh-gopoh. Tidak banyak cara di luar obat yang dapat meningkatkan kadar HDL selain dengan bergerak badan. Berjalan kaki tergopoh-gopoh tercatat mampu menurunkan risiko serangan jantung menjadi tinggal separuhnya.

2. Stroke.
Kendati manfaat berjalan kaki tergopoh-gopoh terhadap stroke pengaruhnya belum senyata terhadap serangan jantung koroner, beberapa studi menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tengok saja bukti alami nenek-moyang kita yang lebih banyak melakukan kegiatan berjalan kaki setiap hari, kasus stroke zaman dulu tidak sebanyak sekarang. Salah satu studi terhadap 70 ribu perawat (Harvard School of Public Health) yang dalam bekerja tercatat melakukan kegiatan berjalan kaki sebanyak 20 jam dalam seminggu, risiko mereka terserang stroke menurun duapertiga.

3. Berat badan stabil. 
Ternyata dengan membiasakan berjalan kaki rutin, laju metabolisme tubuh ditingkatkan. Selain sejumlah kalori terbuang oleh aktivitas berjalan kaki, kelebihan kalori yang mungkin ada akan terbakar oleh meningkatnya metabolisme tubuh, sehingga kenaikan berat badan tidak terjadi.

4. Menurunkan berat badan.
Ya, selain berat badan dipertahankan stabil, mereka yang mulai kelebihan berat badan, bisa diturunkan dengan melakukan kegiatan berjalan kaki tergopoh-gopoh itu secara rutin. Kelebihan gajih di bawah kulit akan dibakar bila rajin melakukan kegiatan berjalan kaki cukup laju paling kurang satu jam.

5. Mencegah kencing manis.
Ya, dengan membiasakan berjalan kaki melaju sekitar 6 km per jam, waktu tempuh sekitar 50 menit, ternyata dapat menunda atau mencegah berkembangnya diabetes Tipe 2, khususnya pada mereka yang bertubuh gemuk (National Institute of Diabetes and Gigesive & Kidney Diseases).

Sebagaimana kita tahu bahwa kasus diabetes yang bisa diatasi tanpa perlu minum obat, bisa dilakukan dengan memilih gerak badan rutin berkala. Selama gula darah bisa terkontrol hanya dengan cara bergerak badan (brisk walking), obat tidak diperlukan. Itu berarti bahwa berjalan kaki tergopoh-gopoh sama manfaatnya dengan obat antidiabetes.

6. Mencegah osteoporosis. 
Betul. Dengan gerak badan dan berjalan kaki cepat, bukan saja otot-otot badan yang diperkokoh, melainkan tulang-belulang juga. Untuk metabolisme kalsium, bergerak badan diperlukan juga, selain butuh paparan cahaya matahari pagi. Tak cukup ekstra kalsium dan vitamin D saja untuk mencegah atau memperlambat proses osteoporosis. Tubuh juga membutuhkan gerak badan dan memerlukan waktu paling kurang 15 menit terpapar matahari pagi agar terbebas dari ancaman osteoporosis.

Mereka yang melakukan gerak badan sejak muda, dan cukup mengonsumsi kalsium, sampai usia 70 tahun diperkirakan masih bisa terbebas dari ancaman pengeroposan tulang.

7. Meredakan encok lutut.
Lebih sepertiga orang usia lanjut di Amerika mengalami encok lutut (osteoarthiris). Dengan membiasakan diri berjalan kaki cepat atau memilih berjalan di dalam kolam renang, keluhan nyeri encok lutut bisa mereda. Untuk mereka yang mengidap encok lutut, kegiatan berjalan kaki perlu dilakukan berselang-seling, tidak setiap hari. Tujuannya untuk memberi kesempatan kepada sendi untuk memulihkan diri.

Satu hal yang perlu diingat bagi pengidap encok tungkai atau kaki: jangan keliru memilih sepatu olahraga. Kita tahu, dengan semakin bertambahnya usia, ruang sendi semakin sempit, lapisan rawan sendi kian menipis, dan cairan ruang sendi sudah susut. Kondisi sendi yang sudah seperti itu perlu dijaga dan dilindungi agar tidak mengalami goncangan yang berat oleh beban bobot tubuh, terlebih pada yang gemuk.

Bila bantalan (sol) sepatu olahraganya kurang empuk, sepatu gagal berperan sebagai peredam goncangan (shock absorber). Itu berarti sendi tetap mengalami beban goncangan berat selama berjalan, apalagi bila berlari atau melompat. Hal ini yang memperburuk kondisi sendi, lalu mencetuskan serangan nyeri sendi atau menimbulkan penyakit sendi pada mereka yang berisiko terkena gangguan sendi.

Munculnya nyeri sendi sehabis melakukan kegiatan berjalan kaki, bisa jadi lantaran keliru memilih jenis sepatu olahraga. Sepatu bermerek menentukan kualitas bantalannya, selain kesesuaian anatomi kaki. Kebiasaan berjalan kaki tanpa alas kaki, bahkan di dalam rumah sekalipun, bisa memperburuk kondisi sendi-sendi tungkai dan kaki, akibat beban dan goncangan yang harus dipikul oleh sendi.

8. Depresi. 
Ternyata bergerak badan dengan berjalan kaki cepat juga membantu pasien dengan status depresi. Berjalan kaki tergopoh-gopoh bisa menggantikan obat antidepresan yang harus diminum rutin. Studi ihwal terbebas dari depresi dengan berjalan kaki sudah dikerjakan lebih 10 tahun.

9. Kanker 
Kanker juga dapat dibatalkan muncul bila kita rajin berjalan kaki, setidaknya jenis kanker usus besar (colorectal carcinoma). Kita tahu, bergerak badan ikut melancarkan peristaltik usus, sehingga buang air besar lebih tertib. Kanker usus dicetuskan pula oleh tertahannya tinja lebih lama di saluran pencernaan. Studi lain juga menyebutkan peran berjalan kaki terhadap kemungkinan penurunan risiko terkena kanker payudara.




.

Monday, May 20, 2013

Janji Zocha - Nena


Janji Zocha @ Koka dan Nena





Janji Zocha @ Koka dan Nena sebelum ikut bercuti ke Batam 23 Mei 2013 - 9 Jun 2013.



by Zocha @ Koka





by Nena




.

Sunday, May 19, 2013

Doa Untuk Ibu Bapak

DOA UNTUK IBU BAPA


Ya Allah.. Rendahkanlah suaraku bagi mereka, Perindahlah ucapanku di depan mereka, Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan Lembutkan hatiku untuk mereka.

Ya Allah.. Berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya, atas didikan mereka padaku dan Pahala yang besar atas kesayangan yang mereka limpahkan padaku, peliharalah mereka sebagaimana mereka memeliharaku semenjak aku kecil.

Ya Allah, Apa saja gangguan yang telah mereka rasakan atau kesusahan yang mereka deritakan kerana aku atau hilangnya sesuatu hak mereka kerana perbuatanku, jadikanlah itu semua penyebab susutnya dosa-dosa mereka dan bertambahnya pahala kebaikan mereka dengan perkenan-Mu ya Allah.. hanya Engkaulah yang berhak membalas kejahatan dengan kebaikan berlipat ganda.

Sesungguhnya Engkaulah yang memiliki Kurnia Maha Agung, serta anugerah yang tak berakhir dan Engkaulah yang Maha Pengasih diantara semua pengasih.

Amin ...


Thursday, May 9, 2013

Tutup Satu, Buka Dua



Kaidah Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah (rahimahullah):

“Allah tidak menutup atas hamba-Nya satu pintu dengan hikmah, kecuali Allah akan membukakan baginya dua pintu dengan rahmat-Nya”.

Tuesday, May 7, 2013

Ayah, Maafkan Aku


Ayah, Maafkan Aku



Usia ayah menjangkau 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu menunggang basikal ke kedai yang jauhnya lebih kurang 2 km bagi membeli keperluan harian. Sejak kematian ibu 6 tahun lalu, ayah bersendirian di kampung. Lantaran itu, kami adik-beradik 5 orang semuanya- bergilir-gilir menjenguknya.

Kami semua sudah berkeluarga, tinggal pula jauh dari kampung halaman di Teluk Intan. Sebagai anak lelaki sulung, saya mengambil tanggungjawab yang lebih. Selain itu, kami adik-beradik sering menelefon ayah bertanya khabar dan sebagainya. Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah isteri saya mempelawa dia tinggal bersama kami di Kuala Lumpur.

"Tak apalah, lain kali aja...!" jawab ayah. Puas 2 anak saya merayu-rayu, ayah tetap bertegas. Itu jugalah jawapan ayah kalau Kak Long mempelawanya, Kak Ngah mendesak ataupun adik-beradik saya yang lain merayunya. Bagaimanapun sesekali ayah mengalah. Namun sehari 2 berada di rumah anak-anaknya, dia minta dihantar balik. Ada-ada saja alasannya.

Suatu hari Januari lalu, ayah mengikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih bercuti, seronoklah anak-anak saya bermain dan bergurau senda dengan atuk mereka. Masuk hari ketiga, dia merayu nak balik kampung.

Seperti biasalah, ada-ada saja alasan tak logik yang diberikannya. "Saya sibuk ayah, tak boleh nak ambil cuti. Tunggulah sikit lagi, ataupun hujung minggu ni saya hantar ayah," balas saya. Anak-anak saya turut memujuk atuk mereka. "Tak apalah kalau kamu sibuk sangat, belikan ayah tiket di Puduraya, biar ayah naik bas," katanya membuat saya bertambah kecewa. Memang ayah pernah berkali-kali naik bas pulang ke kampung sendirian.

"Tak usahlah..." kata saya memujuk dan merayu selepas makan malam itu. Ayah diam terus masuk ke bilik bersama cucu-cucunya. Bagaimanapun esok paginya ketika saya bersiap untuk ke pejabat, ayah sekali lagi berpesan minta saya belikan tiket bas di Puduraya. "Ayah ni, tak faham ke, saya ni sibuk, sibuuuukkkk!!!" balas saya terus keluar menghidupkan enjin kereta.

Saya tinggalkan ayah terkontang-kanting di muka pintu. Sedih saya tengok mukanya. Di dalam kereta, isteri saya memujuk. "Buat apa kasar sangat dengan ayah ? Cakaplah elok-elok! Kesian dia...!" Saya terus membisu.

Sebelum isteri saya turun kereta sebaik tiba di pejabatnya, dia berpesan agar saya penuhi permintaan ayah. "Jangan lupa bang, belikanlah tiket ayah," katanya ringkas. Di pejabat saya termenung panjang. Lalu saya meminta cuti kecemasan, terus ke Puduraya membeli tiket Transnasional ke Teluk Intan.

Pukul 11.00 pagi saya sampai ke rumah, terus beritahu ayah supaya bersiap. "Bas bergerak pukul 2.00," kata saya ringkas. Saya mengaku bersikap agak kasar ketika itu kerana didorong rasa marah dengan sikap degil ayah. Ayah tanpa banyak kerenah bersiap.
Dia masukkan baju dan kain ke dalam beg sandang. Lebih kurang pukul 12.30 saya bergerak ke Puduraya. Dalam perjalanan lebih kurang 1 jam itu, sepatah pun saya tidak bersuara. Selalunya saya dan ayah akan bersembang panjang setiap kali naik kereta bersama. Ada-ada saja yang kami bualkan.
Hari tu ayah tahu saya marahkannya. Dia pun enggan menyapa saya. Tiba di Puduraya, saya terus menghantar ayah ke tingkat bawah stesen bas itu. Selalunya saya akan membimbing lengan ayah tapi hari itu saya biarkan ayah turun sendiri, cuma saya perhatikan agar langkahnya tidak terganggu.

Setelah saya pastikan nombor tempat duduk ayah, saya bersalam dan terus turun dari bas. Ayah langsung tidak memandang saya sebaliknya dia memandang ke luar tingkap. Ayah merenung jauh. Tepat pukul 2.00 bas bergerak. Saya pandang ayah tapi dia masih melemparkan pandangan ke luar tingkap mengelak daripada memandang saya. Setelah bas bergerak jauh, saya menaiki tangga menuju ke kereta. Semasa melalui gerai-gerai di hentian paling sesak itu, saya terpandang susunan kek pisang di atas meja. Langkah saya terhenti.

Berdesup fikiran teringatkan ayah kerana dia cukup suka makan kek itu. Pernah 2-3 kali kalau dia menaiki bas pulang ke kampung, dia akan meminta saya belikan makanan kegemarannya. Tapi hari itu ayah tidak minta apa-apa.

Saya terus memandu pulang. Tiba di rumah, fikiran rasa tidak menentu. Ingatkan kerja di pejabat, ayah yang dalam perjalanan dan isteri yang berada di tempat kerjanya. Malam itu sekali lagi saya meneruskan keegoan saya apabila isteri meminta saya menelefon ayah di kampung seperti yang saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan bas. Malam berikutnya, isteri bertanya lagi sudahkah saya hubungi ayah. "Takkan tak sampai-sampai lagi," jawab saya meninggikan suara. Dinihari itu, saya menerima panggilan telefondari Hospital Teluk Intan.

"Pak Long dah tak ada..." kata sepupu saya di hujung talian. "Dia meninggal 5 minit tadi selepas mengadu sesak nafas Maghrib semalam." Terlalu sebak dia hendak meneruskan kata-kata, selain meminta saya pulang segera. Saya terjelepok di lantai. Gagang masih di tangan. Isteri datang menerpa. "Kenapa bang?" Saya hanya menggeleng-geleng, agak lama baru mampu memberitahu "Ayah dah tak ada!" Tiba di kampung sayalah yang paling hiba sekali. Tidak berhenti-henti menangis berbanding kakak dan adik-adik saya. Barulah saya sedar betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kek pisang, kata-kata saya pada ayah, sikapnya semasa saya di Puduraya, kata-kata isteri membeli tiket silih berganti menyerbu fikiran.

Hanya Tuhan yang tahu betapa luluhnya hati saya apabila teringatkan itu semua. Saya amat terasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya meluahkan rasa, seorang rakan yang sering bersimpati dan ayah yang cukup mengerti perasaan seorang anak. Kenapalah saya tidak dapat membaca gerak rasa seorang tua yang merindui belaian kasih sayang daripada seorang anak yang akan ditinggalkan buat selama-lamanya.

Kini telah 5 tahun berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagi dirobek-robek apabila memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak dapat menahan air mata apabila terkenangkan semula peristiwa pada hari-hari terakhir saya bersamanya. Saya merasa amat bersalah dan tidak akan memaafkan diri ini. Benarlah kata orang, kalau hendak berbakti biarlah semasa ayah dan ibu masih ada. Apabila sudah tiada, menangis air mata darah sekalipun tidak bererti lagi.

Kepada pembaca yang masih ada ayah dan ibu, jagalah perasaan seorang tua. Kasihi mereka sebagaimana mereka menjaga kita sewaktu kecil dulu. Banyakkan lah berdoa untuk keduanya tak kira samada mereka masih ada atau sudah tiada.



Saduran = Copy Paste

Mana Mak?


Mana Mak?



Jam 6.30 petang.
Mak berdiri di depan pintu. Wajah Mak kelihatan resah. Mak tunggu adik bungsu balik dari sekolah agama.
Ayah baru balik dari sawah.
Ayah tanya Mak, “Along mana?’
Mak jawab, “Ada di dapur tolong siapkan makan.”
Ayah tanya Mak lagi,” Angah mana?”
Mak jawab, “Angah mandi, baru balik main bola.”
Ayah tanya Mak, “Ateh mana?”
Mak jawab, “Ateh, Kak Cik tengok tv dengan Alang di dalam?”
Ayah tanya lagi, “Adik dah balik?”
Mak jawab, “Belum. Patutnya dah balik. Basikal adik rosak kot. Kejap lagi kalau tak balik juga jom kita pergi cari Adik.”
Mak jawab soalan ayah penuh yakin. Tiap-tiap hari ayah tanya soalan yang sama. Mak jawab penuh perhatian. Mak ambil berat di mana anak-anak Mak dan bagaimana keadaan anak-anak Mak setiap masa dan setiap ketika.



Dua puluh tahun kemudian
Jam 6.30 petang
Ayah balik ke rumah. Baju ayah basah. Hujan turun sejak tengahari.
Ayah tanya Along, “Mana Mak?”
Along sedang membelek-belek baju barunya. Along jawab, “Tak tahu.”
Ayah tanya Angah, “Mana Mak?”
Angah menonton tv. Angah jawab, “Mana Angah tahu.”
Ayah tanya Ateh, “Mana Mak?”
Ayah menunggu lama jawapan dari Ateh yang asyik membaca majalah.
Ayah tanya Ateh lagi, "Mana Mak?"
Ateh menjawab, “Entah.”
Ateh terus membaca majalah tanpa menoleh kepada Ayah.
Ayah tanya Alang, “Mana Mak?”
Alang tidak jawab. Alang hanya mengoncang bahu tanda tidak tahu.

Ayah tidak mahu tanya Kak Cik dan Adik yang sedang melayan facebook. Ayah tahu yang Ayah tidak akan dapat jawapan yang ayah mahu.

Tidak ada siapa tahu di mana Mak. Tidak ada siapa merasa ingin tahu di mana Mak. Mata dan hati anak-anak Mak tidak pada Mak. Hanya mata dan hati Ayah yang mencari-cari di mana Mak.

Tidak ada anak-anak Mak yang tahu setiap kali ayah bertanya, "Mana Mak?"

Tiba-tiba adik bungsu bersuara, “Mak ni dah senja-senja pun merayap lagi. Tak reti nak balik!!”
Tersentap hati Ayah mendengar kata-kata Adik.
Dulu anak-anak Mak akan berlari mendakap Mak apabila balik dari sekolah. Mereka akan tanya "Mana Mak?" apabila Mak tidak menunggu mereka di depan pintu.

Mereka akan tanya, "Mana Mak." Apabila dapat nombor 1 atau kaki melecet main bola di padang sekolah. Mak resah apabila anak-anak Mak lambat balik. Mak mahu tahu di mana semua anak-anaknya berada setiap waktu dan setiap ketika.

Sekarang anak-anak sudah besar. Sudah lama anak-anak Mak tidak bertanya 'Mana Mak?"
Semakin anak-anak Mak besar, soalan "Mana Mak?" semakin hilang dari bibir anak-anak Mak.

Ayah berdiri di depan pintu menunggu Mak. Ayah resah menunggu Mak kerana sudah senja sebegini Mak masih belum balik. Ayah risau kerana sejak akhir-akhir ini Mak selalu mengadu sakit lutut.

Dari jauh kelihatan sosok Mak berjalan memakai payung yang sudah uzur. Besi-besi payung tercacak keluar dari kainnya. Hujan masih belum berhenti. Mak menjinjit dua bungkusan plastik. Sudah kebiasaan bagi Mak, Mak akan bawa sesuatu untuk anak-anak Mak apabila pulang dari berjalan.

Sampai di halaman rumah Mak berhenti di depan deretan kereta anak-anak Mak. Mak buangkan daun-daun yang mengotori kereta anak-anak Mak. Mak usap bahagian depan kereta Ateh perlahan-lahan. Mak rasakan seperti mengusap kepala Ateh waktu Ateh kecil. Mak senyum. Kedua bibir Mak diketap repat. Senyum tertahan, hanya Ayah yang faham. Sekarang Mak tidak dapat lagi merasa mengusap kepala anak-anak seperti masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka sudah besar. Mak takut anak Mak akan menepis tangan Mak kalau Mak lakukannya.

Lima buah kereta milik anak-anak Mak berdiri megah. Kereta Ateh paling gah. Mak tidak tahu pun apa kehebatan kereta Ateh itu. Mak cuma suka warnanya. Kereta warna merah bata, warna kesukaan Mak. Mak belum merasa naik kereta anak Mak yang ini.

Baju mak basah kena hujan. Ayah tutupkan payung mak. Mak bagi salam. Salam Mak tidak berjawab. Terketar-ketar lutut Mak melangkah anak tangga. Ayah pimpin Mak masuk ke rumah. Lutut Mak sakit lagi.
Mak letakkan bungkusan di atas meja. Sebungkus rebung dan sebungkus kueh koci pemberian Mak Uda untuk anak-anak Mak. Mak Uda tahu anak-anak Mak suka makan kueh koci dan Mak malu untuk meminta untuk bawa balik. Namun raut wajah Mak sudah cukup membuat Mak Uda faham.

Semasa menerima bungkusan kueh koci dari Mak Uda tadi, Mak sempat berkata kepada Mak Uda, "Wah berebutlah budak-budak tu nanti nampak kueh koci kamu ni."

Sekurang-kurangnya itulah bayangan Mak. Mak bayangkan anak-anak Mak sedang gembira menikmati kueh koci sebagimana masa anak-anak Mak kecil dulu. Mereka berebut dan Mak jadi hakim pembuat keputusan muktamat. Sering kali Mak akan beri bahagian Mak supaya anak-anak Mak puas makan. Bayangan itu sering singgah di kepala Mak.

Ayah suruh Mak tukar baju yang basah itu. Mak akur.
Selepas Mak tukar baju, Ayah iring Mak ke dapur. Mak ajak anak-anak Mak makan kueh koci. Tidak seorang pun yang menoleh kepada Mak. Mata dan hati anak-anak Mak sudah bukan pada Mak lagi.
Mak hanya tunduk, akur dengan keadaan.

Ayah tahu Mak sudah tidak boleh mengharapkan anak-anak melompat-lompat gembira dan berlari mendakapnya seperti dulu.

Ayah temankan Mak makan. Mak menyuap nasi perlahan-lahan, masih mengharapkan anak-anak Mak akan makan bersama. Setiap hari Mak berharap begitu. Hanya Ayah yang duduk bersama Mak di meja makan setiap malam.

Ayah tahu Mak penat sebab berjalan jauh. Siang tadi Mak pergi ke rumah Mak Uda di kampung seberang untuk mencari rebung. Mak hendak masak rebung masak lemak cili api dengan ikan masin kesukaan anak-anak Mak.

Ayah tanya Mak kenapa Mak tidak telepon suruh anak-anak jemput. Mak jawab, "Saya dah suruh Uda telepon budak-budak ni tadi. Tapi Uda kata semua tak berangkat."

Mak minta Mak Uda telepon anak-anak yang Mak tidak boleh berjalan balik sebab hujan. Lutut Mak akan sakit kalau sejuk. Ada sedikit harapan di hati Mak agar salah seorang anak Mak akan menjemput Mak dengan kereta. Mak teringin kalau Ateh yang datang menjemput Mak dengan kereta barunya. Tidak ada siapa yang datang jemput Mak.

Mak tahu anak-anak mak tidak sedar telepon berbunyi. Mak ingat kata-kata ayah, “Kita tak usah susahkan anak-anak. Selagi kita mampu kita buat saja sendiri apa-apa pun. Mereka ada kehidupan masing-masing. Tak payah sedih-sedih. Maafkan sajalah anak-anak kita. Tak apalah kalau tak merasa menaiki kereta mereka sekarang. Nanti kalau kita mati kita masih ada peluang merasa anak-anak mengangkat kita kat bahu mereka.”

Mak faham buah hati Mak semua sudah besar. Along dan Angah sudah beristeri. Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik masing-masing sudah punya buah hati sendiri yang sudah mengambil tempat Mak di hati anak-anak Mak.

Pada suapan terakhir, setitik air mata Mak jatuh ke pinggan.
Kueh koci masih belum diusik oleh anak-anak Mak.


Beberapa tahun kemudian
Mak Uda tanya Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik, “Mana mak?”.
Hanya Adik yang jawab, “Mak dah tak ada.”
Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik tidak sempat melihat Mak waktu Mak sakit.
Kini Mak sudah berada di sisi Tuhannya bukan di sisi anak-anak Mak lagi.
Dalam isakan tangis, Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik menerpa kubur Mak. Hanya batu nisan yang berdiri terpacak. Batu nisan Mak tidak boleh bersuara. Batu nisan tidak ada tangan macam tangan Mak yang selalu memeluk erat anak-anaknya apabila anak-anak datang menerpa Mak semasa anak-anak Mak kecil dulu.
Mak pergi semasa Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik berada jauh di bandar. Kata Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik mereka tidak dengar handphone berbunyi semasa ayah telepon untuk beritahu mak sakit tenat.

Mak faham, mata dan telinga anak-anak Mak adalah untuk orang lain bukan untuk Mak.
Hati anak-anak Mak bukan milik Mak lagi. Hanya hati Mak yang tidak pernah diberikan kepada sesiapa, hanya untuk anak-anak Mak.
Mak tidak sempat merasa diangkat di atas bahu anak-anak Mak. Hanya bahu ayah yang sempat mengangkat jenazah Mak dalam hujan renyai.
Ayah sedih sebab tiada lagi suara Mak yang akan menjawab soalan Ayah,
"Mana Along?" , "Mana Angah?", "Mana Ateh?", "Mana Alang?", "Mana Kak Cik?" atau "Mana Adik?".

Hanya Mak saja yang rajin menjawab soalan ayah itu dan jawapan Mak memang tidak pernah silap. Mak sentiasa yakin dengan jawapannya sebab mak ambil tahu di mana anak-anaknya berada pada setiap waktu dan setiap ketika. Anak-anak Mak sentiasa di hati Mak tetapi hati anak-anak Mak ada orang lain yang mengisinya.

Ayah sedih. Di tepi kubur Mak, Ayah bermonolog sendiri, "Mulai hari ini tidak perlu bertanya lagi kepada Along, Angah, Ateh, Alang, Kak Cik dan Adik , "Mana mak?" "

Kereta merah Ateh bergerak perlahan membawa Ayah pulang. Along, Angah, Alang dan Adik mengikut dari belakang. Hati ayah hancur teringat hajat Mak untuk naik kereta merah Ateh tidak kesampaian. Ayah terbayang kata-kata Mak malam itu, "Cantiknya kereta Ateh, kan Bang? Besok-besok Ateh bawalah kita jalan-jalan kat Kuala Lumpur tu. Saya akan buat kueh koci buat bekal."

"Ayah, ayah....bangun." Suara Ateh memanggil ayah. Ayah pengsan sewaktu turun dari kereta Ateh.

Terketar-ketar ayah bersuara, "Mana Mak?"

Ayah tidak mampu berhenti menanya soalan itu. Sudah 10 tahun Mak pergi namun soalan "Mana Mak?" masih sering keluar dari mulut Ayah sehingga ke akhir usia.

Sebuah cerita pendek buat tatapan anak-anak. Kata orang hidup seorang ibu waktu muda dilambung resah, apabila tua dilambung rasa. Kata Rasulullah saw. ibu 3 kali lebih utama dari ayah. Bayangkanlah berapa kali ibu lebih utama dari isteri, pekerjaan dan anak-anak sebenarnya. Solat sunat pun Allah suruh berhenti apabila ibu memanggil. Berapa kerapkah kita membiarkan deringan telepon panggilan dari ibu tanpa berjawab?




Saduran = Copy Paste



Sunday, May 5, 2013

Tanda Kematian



Antara Tanda -tanda Kematian Anda Semakin Hampir


Tanda-tanda kematian mengikut ulamak adalah benar dan wujud cuma amalan dan ketakwaan kita sahaja yang akan dapat membezakan kepekaan kita kepada tanda-tanda ini. Rasulullah SAW diriwayatkan masih mampu memperlihat dan menceritakan kepada keluarga dan sahabat secara lansung akan kesukaran menghadapi sakaratul maut dari awal hinggalah akhirnya hayat Baginda.

Walaubagaimanapun semua tanda-tanda ini akan berlaku kepada orang-orang Islam sahaja manakala orang-orang kafir iaitu orang yang menyekutukan Allah nyawa mereka ini akan terus direntap tanpa sebarang peringatan sesuai dengan kekufuran mereka kepada Allah SWT. Adapun tanda-tanda ini terbahagi kepada beberapa keadaan:

Tanda 100 hari sebelum hari mati
Ini adalah tanda pertama dari Allah SWT kepada hambanya dan hanya akan disedari oleh mereka yang dikehendakinya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapat tanda ini cuma samada mereka sedar atau tidak sahaja. Tanda ini akan berlaku lazimnya selepas waktu Asar. Seluruh tubuh iaitu dari hujung rambut sehingga ke hujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan mengigil. Contohnya seperti daging lembu yang baru saja disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lazat dan bagi mereka yang sedar dan berdetik di hati bahawa mungkin ini adalah tanda mati maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sedar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesedaran atau mereka yang hanyut dengan kenikmatan tanpa memikirkan soal kematian, tanda ini akan lenyap begitu sahaja tanpa sebarang manfaat. Bagi yang sedar dengan kehadiran tanda ini maka ini adalah peluang terbaik untuk memanfaatkan masa yang tinggal untuk mempersiapkan diri dengan amalan dan urusan yang akan dibawa atau ditinggalkan sesudah mati.

Tanda 40 hari sebelum hari mati
Tanda ini juga akan berlaku sesudah waktu Asar. Bahagian pusat kita akan berdenyut-denyut. Pada ketika ini daun yang tertulis nama kita akan gugur dari pokok yang letaknya di atas Arash Allah SWT. Maka malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan mula membuat persediaannya ke atas kita, antaranya ialah ia akan mula mengikuti kita sepanjang masa. Akan terjadi malaikat maut ini akan memperlihatkan wajahnya sekilas lalu dan jika ini terjadi, mereka yang terpilih ini akan merasakan seakan-akan bingung seketika. Adapun malaikat maut ini wujudnya cuma seorang tetapi kuasanya untuk mencabut nyawa adalah bersamaan dengan jumlah nyawa yang akan dicabutnya.

Tanda 7 hari sebelum hari mati
Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan musibah kesakitan di mana orang sakit yang tidak makan secara tiba-tiba ianya berselera untuk makan.

Tanda 3 hari sebelum hari mati
Pada ketika ini akan terasa denyutan di bahagian tengah dahi kita iaitu diantara dahi kanan dan kiri. Jika tanda ini dapat dikesan maka berpuasalah kita selepas itu supaya perut kita tidak mengandungi banyak najis dan ini akan memudahkan urusan orang yang akan memandikan kita nanti. Ketika ini juga mata hitam kita tidak akan bersinar lagi dan bagi orang yang sakit hidungnya akan perlahan-lahan jatuh dan ini dapat dikesan jika kita melihatnya dari bahagian sisi. Telinganya akan layu dimana bahagian hujungnya akan beransur-ansur masuk ke dalam. Telapak kakinya yang terlunjur akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar ditegakkan.

Tanda 1 hari sebelum hari mati
Akan berlaku sesudah waktu Asar di mana kita akan merasakan satu denyutan di sebelah belakang iaitu di kawasan ubun-ubun di mana ini menandakan kita tidak akan sempat untuk menemui waktu Asar keesokan harinya.

Tanda akhir
Akan berlaku keadaan di mana kita akan merasakan satu keadaan sejuk di bahagian pusat dan ianya akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke bahagian halkum. Ketika ini hendaklah kita terus mengucap kalimah syahadah dan berdiam diri dan menantikan kedatangan malaikatmaut untuk menjemput kita kembali kepada Allah SWT yang telah menghidupkan kita dan sekarang akan mematikan pula.

Sesungguhnya marilah kita bertaqwa dan berdoa kepada Allah SWT semuga kita adalah di antara orang-orang yang yang dipilih oleh Allah yang akan diberi kesedaran untuk peka terhadap tanda-tanda mati ini semoga kita dapat membuat persiapan terakhir dalam usaha memohon keampunan samada dari Allah SWT mahupun dari manusia sendiri dari segala dosa dan urusan hutang piutang kita. Oleh itu marilah kita bersama-sama berusaha dan berdoa semuga kita diberi hidayah dan petunjuk oleh Allah SWT serta kelapangan masa dan kesihatan tubuh badan dan juga fikiran dalam usaha kita untuk mencari keredhaan Allah SWT samada di dunia mahupun akhirat. Wallahualam




Thursday, May 2, 2013

Kakek di Pesawat



Seorang ayah tua yang datang dari desa, membopong sekantung ketela merah kering menempuh jarak jauh pergi menjenguk anaknya yang sedang kuliah di Beijing, tindak tanduknya selama di pesawat telah membuat seorang pramugari yang baik hati menjadi terenyuh. Pramugari tersebut menuliskan rasa harunya itu ke dalam buku harian "Buku Harian Sang Pramugari".
Saya adalah seorang pramugari biasa dari Eastern Airlines, karena masa kerja saya belum lama, jadi belum menjumpai masalah besar yang tidak bisa dilupakan, setiap hari terlewati dengan hal-hal kecil yaitu menuangkan air dan menyuguhkan teh. Tidak ada kegairahan dalam bekerja, sangatlah hambar. Tapi hari ini, tanggal 7 Juni, saya telah menjumpai suatu kejadian yang merubah pemikiran saya terhadap pekerjaan dan pandangan hidup.
Hari ini kami melakukan penerbangan dari Shanghai ke Beijing, penumpang saat itu sangat banyak, satu unit pesawat terisi penuh. Di antara rombongan orang yang naik pesawat ada seorang paman tua dari desa yang tidak menarik perhatian, dia membopong satu karung goni besar di punggungnya, dengan membawa aroma tanah yang khas dari pedesaan.
Saat itu saya sedang berada di depan pintu pesawat untuk menyambut para tamu, pikiran pertama yang menghampiri saya saat itu adalah masyarakat sekarang ini sudah sangat makmur, bahkan seorang paman tua dari desa pun memiliki uang untuk naik pesawat, sungguh royal.
Ketika pesawat sudah mulai terbang datar, kami mulai menuangkan air, hingga tiba di baris kursi ke 20-an, terlihat paman tua tersebut, dia duduk dengan sangat hati-hati, tegak tidak bergerak sama sekali, karung goninya juga tidak diletakkan di tempat bagasi bawaan, tingkah si paman tua itu menggendong karung goni besar sekilas seperti rak penyangga bola dunia (globe), tegak seperti patung.
Saat ditanya mau minum apa, dengan gugup dia menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata tidak mau. Saat hendak dibantu untuk menyimpan karungnya di tempat bagasi dia juga menolak. Terpaksa kami biarkan dia menggendong karung tersebut. Beberapa saat kemudian tiba waktunya untuk membagikan makanan, kami mendapatkan bahwa dia masih duduk dengan tegak dan tidak bergerak sama sekali, kelihatannya sangat gelisah, saat diberi nasi, dia tetap saja menggoyangkan tangannya menolak tanda tidak mau.
Karenanya kepala pramugari datang menghampirinya dengan ramah menanyakan apakah dia sedang sakit. Dengan suara lirih dia berkata ingin ke toilet tapi dia tidak tahu apakah boleh berkeliaran di dalam pesawat, dia takut merusak barang-barang yang ada di dalam pesawat.
Kami memberitahu dia tidak ada masalah dan menyuruh seorang pramugara mengantarkannya ke toilet. Saat menambahkan air untuk kedua kalinya, kami mendapati dirinya sedang mengamati penumpang lain minum air sambil terus menerus menjilat-jilat bibirnya sendiri, karenanya kami lantas menuangkan secangkir teh hangat dan kami letakkan di atas mejanya tanpa bertanya kepadanya.
Siapa sangka tindakan kami ini membuat ia sangat ketakutan dan berkali-kali ia mengatakan tidak perlu, kami pun berkata kepadanya minumlah jika sudah haus. Mendengar demikian dia melakukan tindakan yang jauh lebih mengejutkan lagi, buru-buru dia mengambil segenggam uang dari balik bajunya, semuanya berupa uang koin satu sen-an, dan disodorkan kepada kami. Kami mengatakan kepadanya bahwa minuman ini gratis, dia tidak percaya. Dia sepanjang perjalanan beberapa kali ia masuk ke rumah orang untuk meminta air minum tetapi tidak pernah diberi, bahkan selalu diusir dengan penuh kebencian.
Akhirnya kami baru mengetahui ternyata demi menghemat uang, sepanjang perjalanannya ia sebisa mungkin tidak naik kendaraan dan memaksakan diri berjalan kaki hingga mencapai kota terdekat dengan bandara, barulah dia naik taksi ke bandara, bekal uangnya tidak banyak, maka dia hanya bisa meminta air minum dari depot ke depot sepanjang perjalanan yang dilewatinya. Sayang sekali dia sering sekali diusir pergi, orang-orang menganggapnya pengemis.
Kami menasihatinya selama beberapa waktu lamanya hingga akhirnya dia mau mempercayai kami, duduk, lalu perlahan-lahan meminum tehnya. Kami menanyakan apakah dia lapar, maukah memakan nasi, dia masih tetap saja mengatakan tidak mau. Dia bercerita bahwa ia memiliki 2 orang putra, keduanya bisa diandalkan dan sangat berguna, keduanya diterima di perguruan tinggi, yang bungsu sekarang kuliah di semester 6, sedangkan si sulung telah bekerja.
Kali ini dia ke Beijing menjenguk anak bungsunya yang sedang kuliah. Karena anak sulung sudah bekerja bermaksud menjemput kedua orang tuanya untuk tinggal bersamanya di kota, akan tetapi kedua orang tuanya tidak terbiasa, mereka hanya menetap beberapa waktu lamanya lalu kembali lagi ke desa.
Kali ini karena anak sulungnya tidak ingin sang ayah susah payah naik angkutan, maka dibelikanlah tiket pesawat khusus bagi ayahnya dan bermaksud menemani ayahnya untuk berangkat bersama dengan pesawat karena sang ayah tidak pernah menumpang pesawat sebelumnya, ia sangat khawatir ayahnya tidak mengenali jalan. Akan tetapi ayahnya mati-matian tidak mau naik pesawat karena beranggapan bahwa hal tersebut adalah suatu pemborosan.
Akhirnya setelah bisa dinasihati sang ayah tetap bersikukuh untuk berangkat sendirian, tidak mau anaknya memboroskan uang untuk membeli selembar tiket lagi.
Dia membopong sekarung ketela merah kering yang diberikan pada anak bungsunya. Ketika pemeriksaan sebelum naik ke pesawat, petugas mengatakan bahwa karungnya itu terlalu besar, dan memintanya agar karung itu dimasukkan ke bagasi, namun dia mati-matian menolak, dia bilang takut ketelanya hancur, jika hancur anak bungsunya tidak mau makan lagi. Kami memberitahu dia bahwa barang bawaannya aman jika disimpan disitu, dia berdiri dengan waspada dalam waktu lama, kemudian baru diletakkannya dengan hati-hati.
Selama dalam perjalanan di pesawat kami sangat rajin menuangkan air minum untuknya, dan dia selalu dengan sopan mengucapkan terima kasih. Tapi dia masih bersikukuh tidak mau makan. Walaupun kami tahu perut si paman tua sudah sangat lapar. Sampai menjelang pesawat akan mendarat, dia dengan sangat berhati-hati menanyakan kepada kami apakah kami bisa memberikan sebuah kantongan kepadanya, yang akan digunakan untuk membungkus nasi jatahnya tersebut untuk dia bawa pergi.
Dia bilang selama ini dia tidak pernah mendapatkan makanan yang begitu enak, dan dia akan bawakan makanan itu untuk diberikan kepada anak bungsunya. Kami semua sangat terkejut. Bagi kami nasi yang kami lihat setiap hari ini, ternyata begitu berharganya bagi seorang kakek tua yang datang dari desa ini.
Dia sendiri enggan untuk makan, dia menahan lapar, demi untuk disisakan bagi anaknya. Oleh karena itu, seluruh makanan yang sisa yang tidak terbagikan kami bungkus semuanya untuk diberikan kepadanya agar dibawa. Lagi-lagi dia menolak dengan penuh kepanikan, dia bilang dia hanya mau mengambil jatahnya saja, dia tidak mau mengambil keuntungan dari orang lain. Kami kembali dibuat terharu oleh paman tua ini.
Meskipun bukan suatu hal yang besar, akan tetapi bagi saya ini adalah suatu pelajaran yang sangat mendalam.
Tadinya saya berpikir bahwa kejadian ini sudah selesai sampai disini saja, siapa tahu setelah para tamu lainnya sudah turun dari pesawat, tinggallah paman tua itu seorang diri, kami membantunya membawakan karung goninya sampai ke pintu keluar, saat kami akan membantunya menaikkan karung goni tersebut ke punggungnya, mendadak paman tua itu melakukan suatu tindakan yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup: dia berlutut di atas tanah, lalu dengan air mata berlinang dia bersujud kepada kami dan mengatakan, "Kalian semua sungguh adalah orang-orang yang baik, kami orang desa sehari hanya bisa makan nasi satu kali, selama ini kami belum pernah minum air yang begitu manis, tidak pernah melihat nasi yang begitu bagus, hari ini kalian bukan saja tidak membenci dan menjauhi saya, malah dengan ramah melayani saya, sungguh saya tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada kalian, saya hanya bisa berharap kalian orang-orang yang baik suatu hari nanti akan mendapatkan balasan yang baik".
Sambil tetap berlutut, sambil berkata seperti itu, sambil menangis, kami semua buru-buru memapahnya untuk berdiri, sambil tiada hentinya menasihatinya dan menyerahkannya kepada seorang penjaga yang bertugas untuk membantunya, setelah itu kami baru kembali ke pesawat untuk melanjutkan pekerjaan kami.
Terus terang saja, selama 5 tahun saya bekerja, di dalam pesawat saya telah menemui berbagai macam penumpang, ada yang tidak beradab, ada yang main pukul, juga ada yang berbuat onar tanpa alas an, tapi kami tidak pernah menjumpai orang yang berlutut kepada kami, terus terang kami juga tidak melakukan hal yang khusus kepadanya, hanya menuangkan air agak sering untuk beliau, hal ini telah membuat seseorang yang telah berumur 70 tahun lebih berlutut untuk berterima kasih kepada kami, lagi pula melihat dia memanggul satu karung ketela merah kering, dia sendiri rela tidak makan dan menahan lapar demi membawakan anaknya nasi yang dibagikan di pesawat, juga tidak mau menerima nasi jatah milik orang lain yang bukan menjadi miliknya, tidak serakah, saya sungguh merasakan penyesalan yang amat mendalam, lain kali saya harus bisa belajar berterima kasih, belajar membalas budi orang lain.
Adalah paman tua ini yang telah mengajarkan kepada saya, bagaimana saya harus hidup dengan penuh kebajikan dan kejujuran.