Bugis Melayu: 2009

Hari ini sebelum kamu mengeluh

Hari ini sebelum kamu mengatakan kata-kata yang tidak baik,
Pikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berbicara sama sekali.

Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang rasa dari makananmu,
Pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.

Hari ini sebelum anda mengeluh tidak punya apa-apa,
Pikirkan tentang seseorang yang meminta-minta dijalanan.

Hari ini sebelum kamu mengeluh bahwa kamu buruk,
Pikirkan tentang seseorang yang berada pada tingkat yang terburuk didalam hidupnya.

Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang suami atau istrimu,
Pikirkan tentang seseorang yang memohon kepada tuhan untuk diberikan teman hidup...

Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang hidupmu,
Pikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat.

Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang anak-anakmu,
Pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak tetapi dirinya tidak bisa.

Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang rumahmu yang kotor karena pembantumu tidak mengerjakan tugasnya,
Pikirkan tentang orang-orang yang tinggal dijalanan dan tidak punya rumah.

Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu telah berkendara.
Pikirkan tentang seseorang yang menempuh jarak yang sama dengan berjalan kaki

Dan disaat kamu lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu,
Pikirkan tentang pengangguran, orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti anda...

Hari ini sebelum kamu menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain,
Ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa,
Kita semua menjawab kepada Allah ...

Dan ketika kamu sedang bersedih dan hidupmu dalam kesusahan, tersenyum dan mengucap syukurlah kepada tuhan bahwa kamu masih hidup.

Life is a gift

            Live it

                        Enjoy it

                                    Celebrate it

                                                and fulfill it !

Kengkadang saya terpikir, apakah dia ada perempuan lain yang dia simpan dalam hidupnya? apakah dia ada anak-anak dari istri lain di Batam?

Ada banyak hal yang membuat kepala otak saya ligat berpikir dan cuba mengkaji semuanya.

Saya tak akan penah lupa tarikh itu, pada awal tahun 2007.

Petang itu suami saya baru sampai dari Indonesia, dan kami berbincang pasal niat dia yang akan mengeluarkan hampir separuh wang simpanannya. Bila saya tanya untuk apa, dia jawap wang tersebut akan digunakan untuk membangun rumah. Saya mengucapkan syukur alhamdulillah, maknanya tidak lama kagi kami akan ada rumah sendiri.

Dia kemudian meneruskan pembicaraanya, "saya akan membangun rumah di Batam".

"Untuk siapa? bukankah plan kita abang akan tinggal dengan saya dan anak-anak di Malaysia? Bukan kah abang akan meneruskan sekolah abang sampai doktor di malaysia? Bukan kah abang dah berjanji tidak akan merantau keluar negeri lain lagi? kenapa mesti buat rumah di Batam? apakah abang ada perempuan lain di batam sana?" itu pertanyaan yang ada dikepala saya masa tu.

Suami saya menjawap, "sebab saya akan melanjutkan sekolah saya disini dan tinggal bersama awak dan anak-anak, maka saya harus tunaikan terlebih dahulu tanggungjawap saya sebagai anak dan juga tanggung jawap sebagai abang dari lima orang adik di Indonesia".

"Saya tak paham apa maksud abang", kata saya.

Suami saya menjawap, "Sebelum saya memutuskan untuk tinggal dengan awak dan anak-anak di Malaysia sini, saya akan tunaikan tanggungjawap saya sebagai anak kepada kedua orangtua saya. Ayah saya tidak berapa lama lagi akan pencen sebagai guru, saya nak beliau pindah ke Batam dengan adik-adik biar dekat dan senang kita melawat mereka. Kalau beliau tinggal di Sulawesi, niaya kita bila kita nak melawat mereka, berapa ribu ringgit yang harus dibelanjakan setiap datang kesana. Sebab itu, saya mesti buatkan satu rumah untuk orangtua saya di Batam. Dan saya nak rumah itu bukan setakat rumah, saya nak rumah itu dapat mengubat segala penderitaan ibu bapak saya ketika mereka bersusah payah menyekolahkan saya, dalam keadaan kami yang dhaif. Dan lagi, saya tak akan meninggalkan adik beradik saya sebelum mereka dapat berdiri diatas kaki mereka sendiri. Kalau terpaksa saya harus meninggalkan mereka, saya harus memberikan mereka masing-masing tapak tanah agar mereka dapat berusaha diatas tanah tersebut".

Panas betul telinga saya mendengar apa yang suami saya kata, dada macam nak pecah. Takkan lah mereka semua kene tanggung dengan suami saya !

Saya hanya mampu bercakap, "Saya tak paham, saya tak paham langsung".

Suami saya kemudian mula bercerita, "hidup kami dulu teramat susah. Sehingga nak makan pun tak cukup. awak pikirlah sendiri, kami 7 orang adik beradik, ayah hanya sorang guru sekolah, gaji tak berapa besar sangat. Ibu saya pulak takda keje, nak beniaga tapi modal selalu habis untuk makan dan bayar duit sekolah. Ayah pun hutang banyak sekeliling pinggang, semua habis untuk biaya kami bersekolah. Sampai lah satu hari kemudian, ibu saya pergi kerja di gedung orang kahwin pada sebelah malam. Adik saya lima orang ikut kerja dengan ibu. Yang mereka buat adalah kerja yang mungkin awak tak pernah pikir langsung; keje basuh cawan, piring dan pinggan! Balik kerja dan sampai rumah dalam pukul 12 tengah malam. Mereka membawa bungkusan makanan dari sana; nasi dan lauk pauk sisa yang orang tak habis makan. Yang buat saya sedih, adik-adik saya TAK PERNAH merungut satu kalipun mempersoalkan mengapa saya sebagai abang tidak ikut pergi kerja. Sepanjang saya makan nasi malam itu, disetiap satu suapan saya akan berdoa dan berjanji akan membayar pengorbanan mereka semua. Begitulah yang terjadi disetiap malam hingga akhir tahun 1998".

Tak terasa airmata saya jatuh, dan saya bertanya "macam mana dengan abang Uccank ?"

Suami saya kemudiannya melanjutkan, "Abang Uccank bukan calang-calang abang, dia pun banyak menolong saya. Sebelum orangtua pindah ke Ujung Pandang, kami tinggal berdua di pondokan kecil Antang. Dia terlampau baik. Dia paham dengan kesihatan saya yang selalu sakit dada bila mengangkat berat, selalunya disebelah pagi abang Uccank akan mengangkatkan air mandi untuk saya, dari perigi jauh di tepi sawah. Yang buat perasaan saya sebak, dia tak pernah merungut sekalipun. Masa orang tua belum tinggal di Ujung Pandang, abang Uccank pun kerja di gedung, biasa dalam pukul 11 malam dia dah sampai rumah dan membawa makanan. Dia kemudian mengejutkan saya untuk bangun makan. Dada saya perih ketika menyuap nasi karena abang Uccank membuat semua benda itu dengan ikhlas, tak pernah merungut, tak pernah mempersoalkan mengapa saya tidak mau ikut kerja dengan dia di gedung".

Saya tak dapat menahan airmata jatuh.

Suami melanjutkan, "kami kemudian terpisah kerana angkara orang yang tidak suka melihat kami berdua rukun. Saya kemudian ikut nenek sebelah mak. Nenek pun bukan calang-calang orangnya. Saya tahu, nenek teramat sayangkan saya, hingga nenek harus menahan telinga dari anak-anaknya kerana banyak menolong saya. Walaupun nenek hanya berjualan nasi kuning, tetapi selalunya disebelah pagi nenek akan menghulurkan pada saya duit tambang bas/pete-pete' kekampus, menghulurkan duit untuk foto copy bahan kuliah. Tapi saya sedih, teramat sedih ... nenek meninggal sebelum saya sempat menunaikan janji saya kepada beliau, setiap petang saat beliau maccobe' dan saya menolong kopek bawang untuk nasi kuningnya, saya selalu berkata: nek aji, doa kan agar kuliah saya cepat selesai, saya ingin pergi merantau, saya mahu pergi jauh-jauh, dan bila disana nanti penghidupan saya baik, saya akan memanggil nenek dan membawa nenek ikut jalan-jalan melihat kampung orang. Saya janji pada nenek akan menunaikan hasratnya untuk ke Batam, seperti yang selalu beliau cerita. Beliau selalu cerita pada saya, nak ... nenek tinggimu dulu pernah ke Batam, dia sudah dapat tanah disana, tanahnya tidak jauh dari masjid, tapi kemudian balik ke Ujung Pandang kerana sakit dan kemudian meninggal. Saya janji akan membawa nenek aji ke Batam kalau saya sudah ada rumah disana. Tapi kemudian niat itu tak sampai, nenek meninggal beberapa hari sebelum raya tahun 2006"

Saya kemudian ikut sebak, kemudian saya teringat, patut lah suami saya pada setiap bulan ramadhan akan mengantar makanan ke masjid dan berpesan, tolong beritahu orang dimasjid bahawa makanan ini disedekahkan oleh keluarga Hj. Saenab mohon kirimkan al-fatihah kepada arwah. Sebenarnya orang tak pernah buat macam itu disini, tapi suami saya bersikeras. Sekarang baru lah saya tahu, siapa Hj. Saenab tu. Patut pun suami saya buat macam itu.

Suami saya kemudian menunjukkan satu keping gambar, disana ada tiga orang. Suami saya memberitahu, yang duduk itu lah Puang Haji Saenab, dua yang berdiri dari sebelah kiri adalah Puang Ochi dan ditengah Puang Nina.

"Siapa kedua oarang tu ?", saya bertanya.

Suami saya memberitahu, "Kedua orang itu adalah adik kepada ibu haji. Puang Ochi adalah saudara mak yang paling saya rapat. Kami duduk bertiga di Panaikang. Beliau baik dan banyak mengerti akan kemahuan saya. Yang tak pernah saya lupakan kerana kami pernah susah senang sama-sama di Pangkajene. Beliau mengajar di pesantren tempat saya belajar. Satu masa nanti, saya mesti bawak awak dan anak-anak berjumpa beliau. Hanya dia saja yang saya anggap sebagai kawan baik saya. Mudah-mudahan kita diberi umur panjang"

"Lepas tu, Puang Nina ?", tanya saya.

Suami saya melanjutkan, "beliau pun baik orangnya. Saya masih ada utang pada beliau, haritu beliau minta dibelikan kasut sukan warna putih. Tapi saya terpikir, elok bila saya jumpa dia dan kami pergi tengok kasut yang dia mahu. Saya pun tak tahu size kaki beliau. Dia guru sukan, orangnya keras tapi baik. dia yang mengajar saya membaca dan mengeja A B C D E sampai Z ... "

Azan magrib terdengar, kami berkemas untuk sholat magrib bersama. Dalam sujud, saya bersyukur betapa Allah mempertemukan saya dengan laki-laki yang punya perasaan halus walau keras kepala. Saya berjanji dilain masa, saya tak akan mempersoalkan apa-apa lagi apa saja yang suami saya buat. Saya yakin suami saya mesti akan jaga saya dan anak-anak saya sebagai mereka menjaga hati orang-orang terdekatnya. Amin.

Cerita diatas saya simpan dalam ingatan hingga kehari ini. Dan bila saya terjumpa story dibawah ini, tangan saya tertarik untuk menaip dan meluahkannya biar menjadi ikhtibar kepada sesiapa bahwa pengorbanan kita yang telus mesti berbalas, tidak didunia mesti akan dapat diakhirat.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku Menangis untuk Adikku 6 Kali

Diterjemahkan dari : "I cried for my brother six times"

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke angit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan: "Baikah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata: "Ayah, aku yang melakukannya! " Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi: "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memaukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu ayak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu mau!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecinya dan berkata: "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut: "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik" Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas: "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata: "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya: "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai seesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata: "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggakan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak agi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggakan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya dilokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang beajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan: " Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya: "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum: "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? " Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku: "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adaah adikku apapun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampianmu. .."

Dari sakunya, ia mengeuarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan: "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam peukanku dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku: "Bu, ibu tidak peru menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum: "Itu adaah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya: "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan.." Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggal di kota . Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.Mereka mengatakan, sekali meninggakan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan: "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik,dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu: "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya: "Pikirkan kakak ipar, ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi! kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Bahkan tanpa berpikir ia menjawab, "Kakakku. "

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat: "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjaan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu,saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dan bila saya menceritakan semula pengalam saya diatas, suami saya ada di Batam. Saya dengar-dengar dia tengah sibuk menguruskan pembelian kedai dan tanah untuk dibahagikan kepada adik-adiknya.

Akhir tahun lepas pun, dia sibuk menguruskan kedua mertua saya untuk ke Mekah.

Saya sudah tidak peduli dengan semua itu, saya yakin apa yang suami saya buat adalah kebaikan. Saya kene mendoakan agar dia sihat dan selamat, berangkat dan kembali kerumah kami ini.

Amin.

Bugis Melayu

Pages

Monday, December 21, 2009

Pastel

Sunday, October 11, 2009

Petuah: Sayur Buah

Tuesday, July 21, 2009

Butterfly's Lesson

Tuesday, March 10, 2009

Sebelum Mengeluh

Monday, February 9, 2009

Keikhlasan

Sunday, February 8, 2009

Bos vs. Pemimpin